Category Archives: PENDIDIKAN

PENDIDIKAN KARAKTER DAN BUDAYA SEKOLAH

Oleh :

Akhmad Hidayatullah Al Arifin/NIM : 11703261016

  1. A.    PENDAHULUAN

Dalam perspektif pendidikan, Allah SWT. telah memberikan bimbingan dan petunjuk untuk dijadikan acuan teori, konsep maupun praktek pendidikan dalam menyiapkan generasi penerus untuk mengemban tugas kekhalifahan di muka bumi ini. Salah satunya sebagaimana tersirat dalam Al Quran surat An Nisa’ ayat 9 yang artinya sebagai berikut :

“ Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.

Kutipan ayat tersebut memiliki nilai universal dan mengingatkan kita semua untuk tidak meninggalkan generasi masa depan yang lemah; yaitu baik lemah secara fisik, intelektual, moral, sosial  maupun spiritual, sehingga pesan tersebut dapat dijadikan spirit pendidikan dalam mewujudkan generasi kuat dan sejahtera yang sanggup menghadapi tantangan zamannya.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, instrument strategik yang diyakini memiliki tingkat akurasi tinggi adalah melalui proses pendidikan. Ada pepatah China mengatakan bahwa jika anda mempunyai rencana kehidupan satu tahun, tanamlah padi; jika anda mempunyai rencana kehidupan sepuluh  tahun, tanamlah pohon; dan jika anda mempunyai rencana kehidupan sepanjang hayat, didiklah orang-orang.

Tilaar menyatakan pandangannya tentang pengertian operasional hakekat pendidikan sebagai berikut ; bahwa pendidikan adalah suatu proses menumbuhkembangkan eksistensi peserta didik yang memasyarakat, membudaya, dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal, nasional dan global ( Tilaar, 2002 : 28 ).

Dengan demikian pendidikan dapat diartikan sebagai proses yang berkesinambungan, bahwa mendidik manusia adalah proses yang tidak akan pernah selesai. Pendidikan tidak berhenti ketika peserta didik menjadi dewasa tetapi akan terus menerus berkembang selama terdapat interaksi antara manusia dengan lingkungan sesama manusia serta dengan lingkungan alamnya. Pendidikan mempunyai tugas menumbuhkembangkan eksistensi manusia sebagai suatu keberadaan yang interaktif. Interaksi di sini bukan hanya interaksi dengan sesama manusia, tetapi juga dengan alam dan dunia ide termasuk dengan Sang Pencipta alam semesta Allah SWT.

Pendidikan juga tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan dari kebudayaan. Proses pendidikan adalah proses pembudayaan, dan proses pembudayaan adalah proses pendidikan. Menafikan pendidikan dari proses pembudayaan merupakan proses alienasi dari hakekat manusia dan dengan demikian alienasi dari proses humanisasi. Alienasi proses pendidikan dari kebudayaan berarti menjauhkan pendidikan dari perwujudan nilai-nilai moral di dalam kehidupan manusia ( Tilaar, 2002 : 32 ).

Sementara menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan di artikan sebagai daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi pekerti ( kekuatan batin, karakter ), pikiran ( intelektual ) dan tubuh ( fisik ) anak. Ketiga hal tersebut, yaitu tumbuhnya budi pekerti, intelektual dan fisik anak tidak dapat dipisah-pisahkan agar supaya dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan dan penghidupan anak-anak yang selaras dengan dunianya (Dewantara, 1977 : 14-15 )

Dalam pandangannya yang lain Ki Hajar Dewantara memberikan pengertian tentang maksud dan tujuan pendidikan sebagai berikut bahwa pendidikan adalah tuntunan di dalam tumbuhnya anak-anak, yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak, berarti bahwa hidup tumbuhnya anak-anak itu berada di luar kemampuan dan kehendak pendidik. Anak-anak sebagai makhluk, sebagai manusia, sebagai benda hidup akan hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Kodrat yang ada pada anak tiada lain adalah segala kekuatan di dalam hidup batin dan hidup lahir dari anak-anak. Jadi yang ada adalah kekuasaan kodrat. Para pendidik hanya dapat menuntun tumbuhnya atau hidupnya kekuatan-kekuatan kodrat tersebut agar dapat memperbaiki lakunya hidup dan tumbuhnya ( Dewantara, 1977 : 20-21 ).

Dengan demikian tujuan pendidikan sebenarnya bukan semata penguasaan pengetahuan, keterampilan teknikal saja, karena ini sekedar alat, atau perkakas. Tetapi tujuan pendidikan adalah bertumpu pada anak itu sendiri yang dapat berkembang mencapai sempurnanya hidup manusia, sehingga bisa memenuhi segala bentuk keperluan hidup lahir dan batin. Ibarat suatu tanaman tujuan yang akan dicapai adalah bunganya, yang kelak akan menghasilkan buah. Demikian pula dalam pendidikan, bahwa buahnya pendidikan adalah matangnya jiwa, yang akan dapat mewujudkan hidup dan penghidupan yang sempurna dan memberikan manfaat bagi orang lain dan lingkungannya.

Namun demikian, dalam prakteknya proses pendidikan harus berhadapan dengan mainstream global yang tidak bisa kita hindari, yaitu arus globalisasi. Globalisasi adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat dihadang oleh kekuatan apapun. Pada dasarnya globalisasi merupakan proses kemajuan yang melahirkan ketergantungan antar bangsa dan Negara, yang ditandai oleh derasnya arus informasi, komunikasi, lalu lintas barang, jasa dan modal, bahkan tenaga kerja, secara bebas antar Negara.

Globalisasi merupakan fenomena bagaikan pisau bermata dua; satu sisi memberi dampak positif, sedangkan sisi yang lain member dampak negative. Pada sisi positif, globalisasi menyebabkan terjadinya perluasan pasar yang berdampak terhadap kenaikan pendapatan suatu bangsa. Dalam bidang social politik, globalisasi membawa angin segar pada system dan tata pemerintahan yang cenderung member kebebasan dan kedaulatan kepada rakyat. Dalam bidang budaya, globalisasi menyebabkan interaksi antar bangsa yang semakin massif dan intens, sehingga arus pertukaran informasi dan ilmu pengetahuan semakin terbuka.

Sementara sisi negative dari globalisasi juga tidak kalah banyaknya. Di bidang ekonomi menyebabkan semakin menganga jurang antara kelompok kaya dan miskin. Dalam bidang social politik demokrasi cenderung mengarah pada demokrasi tanpa batas. Dalam bidang budaya, adanya globalisasi membawa dampak pada mudahnya warga masyarakat di Negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia meniru budaya Negara luar, dalam berbagai bentuk. Seperti, pola pergaulan, pola berpakaian, pola makan, dan berbagai pola perilaku lain yang pada gilirannya justru dapat merusak harkat, martabat dan jati diri bangsa itu sendiri ( Zamroni, 2011 : 65 )

Selain ekses globalisasi di atas, masyarakat dan bangsa Indonesia juga dihadapkan pada persoalan laten internal, diantaranya budaya korupsi pada semua lapisan mulai dari tukang parkir hingga bankir, dari rakyat hingga pejabat baik yang berpendidikan rendah sampai berpendidikan tinggi. Persoalan laten lainnya adalah pemakaian kekerasan dalam memecahkan masalah, rendahnya didiplin, pengrusakan lingkungan, rasa permusuhan antar kelompok, antar golongan juga masih membayangi kelabunya wajah negeri tercinta ini.

Disinyalir oleh Gede Raka bahwa meningkatnya kompetensi manusia dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata tidak dengan sendirinya disertai peningkatan kebajikan yang ada di hati manusia. Kompetensi yang tidak disertai peningkatan kebajikan cenderung akan membawa umat manusia ke keadaan yang mengancam kualitas kehidupannya bahkan keberadaannya. Oleh karena itu, salah satu tawaran solusinya adalah melalui pendidikan karakter di sekolah ( Gede Raka, 2011: 21 ).

Pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah sejatinya juga sudah menjadi amanat konstitusi sebagaimana tertuang dalam UUSPN Pasal 3 menyebutkan bahwa Pendidikan nasional berfungsi: Mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Untuk itu, dalam makalah ini selanjutnya akan dibahas tentang relasi “Pendidikan karakter dan budaya sekolah”.

 

  1. B.     KARAKTER DAN PENDIDIKAN KARAKTER
    1. Pengertian Karakter

Istilah karakter sering disama artikan dengan kata watak, sifat, tabiat. Secara umum karakter dikaitkan dengan sifat khas atau istimewa, atau kekuatan moral, atau pola tingkah laku seseorang.

Menurut Samani, karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan Negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan sikap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusannya. Karakter dapat dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata kerama, budaya, adat istiadat, dan estetika ( Samani, 2011: 41 )

Karakter adalah perilaku yang tampak dalam kehidupan sehari-hari baik dalam bersikap maupun dalam bertindak. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia ( 2008 ) karakter merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Dengan demikian karakter adalah nilai-nilai yang unik-baik yang terpatri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku ( Kemendiknas, 2010 ). Nilai yang unik-baik itu selanjutnya dimaknai sebagai tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, dan nyata berkehidupan baik.

Scerenko ( 1997 ) mendefinisikan karakter sebagai atribut atau ciri-ciri yang membentuk dan membedakan ciri pribadi, ciri etis, dan kompleksitas mental dari seseorang, suatu kelompok atau bangsa. Robert Marine ( 1998 ) mengambil pendekatan yang berbeda terhadap makna karakter, menurut dia karakter adalah gabungan yang samar-samar antara sikap, perilaku bawaan, dan kemampuan, yang membangun pribadi seseorang.

Sebagai identitas atau jati diri suatu bangsa, karakter merupakan nilai dasar perilaku yang menjadi acuan tata nilai interaksi antar manusia. Secara universal berbagai karakter dirumuskan sebagai nilai hidup bersama berdasarkan atas pilar : kedamaian ( peace ), menghargai ( respect ), kerja sama ( cooperation ), kebebasan ( freedom ), kebahagiaan ( happiness ), kejujuran ( honesty ), kerendahan hati ( humility ), kasih saying ( love ), tanggung jawab ( responsibility ), kesederhanaan ( simplicity ), toleransi ( tolerance ), dan persatuan ( unity ). Karakter juga dipengaruhi oleh hereditas maupun lingkungan. Perilaku seorang anak sering kali tidak jauh dai perilaku ayah dan ibunya. Linkungan social maupun lingkungan alam juga turut memberi kontribusi terhadap pembentukan karakter seseorang. Seorang anak yang hidup di tengah lingkungan social yang keras, seperti di daerah padat penduduk, metropolitan, biasanya cenderung berperilaku antisocial, keras, emosional dan sebagainya. Sementara itu anak yang hidup di lingkungan yang gersang, panas, dan tandus, pada umumnya juga memiliki temperamen yang keras pula.

Dari berbagai pengertian dan definisi tersebut, serta factor-faktor yang dapat mempengaruhi karakter, maka karakter dapat dimaknai sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang membedakannya dengan orang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.

 

  1. Pendidikan Karakter

Karakter dan pendidikan karakter memiliki arti dan makna berbeda. Karakter lebih di maknai sebagai substansi atau content, sedangkan pendidikan karakter lebih menekankan pada proses. Berikut ini akan dipaparkan beberapa pengertian pendidikan karakter, sehingga diharapkan dapat memperjelas dalam memaknai dan membedakan apa itu karakter dan pendidikan karakter.

Dalam pengertian yang sederhana pendidikan karakter didefinisikan sebagai hal positif apa saja yang dilakukan guru dan berpengaruh kepada karakter siswa yang diajarnya. Samani ( 2011 ) mengutip Winton ( 2010 ) Pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada para siswanya. Pendidikan karakter menurut Burke ( 2001 ) semata-mata merupakan bagian dari pembelajaran yang baik dan merupakan bagian yang fundamental dari pendidikan yang baik.

Departemen Pendidikan Amerika Serikat mendefinisikan pendidikan karakter sebagai berikut : Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan berpikir dan kebiasaan berbuat yang dapat membantu orang-orang hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, sahabat, tetangga, masyarakat dan bangsa. Dari definisi tersebut dapat dikembangkan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan yang mengembangkan karakter mulia (good character ) dari peserta didik dengan mempraktikkan dan mengajarkan nilai-nilai moral dan pengambilan keputusan yang beradab dalam hubungan dengan sesama manusia maupun dalam hubungannya dengan Tuhannya.

Dalam kaitannya dengan aktivitas yang berbasis pada sekolah Anne Lockwood ( 1997 ) yang dikutip oleh Samani ( 2011 ) menyatakan bahwa : Pendidikan karakter adalah setiap rencana sekolah, yang dirancang bersama lembaga masyarakat lain, untuk membentuk secara langsung dan sistematis perilaku orang muda dengan memengaruhi secara explicit nilai-nilai kepercayaan yang diterima secara luas , yang dilakukan secara langsung dalam menerapkan nilai-nilai tersebut.

Dari beberapa definisi di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter merupakan proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Pendidikan karakter juga dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Pendidikan karakter juga dapat dimaknai sebagai suatu system penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut baik terhadap Tuhan YME, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi insan kamil.

 

  1. Prinsip-prinsip Pendidikan Karakter

Kementerian Pendidikan Nasional dalam panduan pelaksanaan pendidikan karakter memberikan acuan bahwa pendidikan karakter harus didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut :

  1. Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter.
  2. Mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan, dan perilaku.
  3. Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter.
  4. Menciptakan komunitas sekolah yang mempunyai kepedulian.
  5. Member kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan perilaku yang baik.
  6. Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua peserta didik, membangun karakter mereka, dan membantu untuk sukses.
  7. Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri pada para peserta didik
  8. Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggungjawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai dasar yang sama.
  9. Adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter.
  10. Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter.
  11. Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan peserta didik.

 

  1. C.    BUDAYA SEKOLAH

Sekolah adalah institusi social. Institusi adalah organisasi yang dibangun masyarakat untuk mempertahankan dan meningkatkan taraf hidupnya. Untuk maksud tersebut sekolah harus memiliki budaya sekolah yang kondusif, yang dapat memberi ruang dan kesempatan bagi setiap warga sekolah untuk mengoptimalkan potensi dirinya masing-masing.

Budaya sekolah adalah keyakinan dan nilai-nilai milik bersama yang menjadi pengikat kuat kebersamaan mereka sebagai warga suatu masyarakat. Jika definisi ini diterapkan di di sekolah, sekolah dapat saja memiliki sejumlah kultur dengan satu kultur dominan dan kultur lain sebagai subordinasi.( Kennedy, 1991 )

Pendapat lain tentang budaya sekolah juga dikemukakan oleh Schein, bahwa budaya sekolah adalah suatu pola asumsi dasar hasil invensi, penemuan atau pengembangan oleh suatu kelompok tertentu saat ia belajar mengatasi masalah-masalah yang telah berhasil baik serta dianggap valid, dan akhirnya diajarkan ke warga baru sebagai cara-cara yang benar dalam memandang, memikirkan, dan merasakan masalah-masalah tersebut. ( Schein , 2010 )

Pandangan lain tentang budaya sekolah dikemukakan oleh Zamroni ( 2011 ) bahwa budaya sekolah adalah merupakan suatu pola asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan yang dipegang bersama oleh seluruh warga sekolah, yang diyakini dan telah terbukti dapat dipergunakan untuk menghadapi berbagai problem dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan melakukan integrasi internal, sehingga pola nilai dan asumsi tersebut dapat diajarkan kepada anggota dan generasi baru agar mereka memiliki pandangan yang tepat bagaimana seharusnya mereka memahami, berpikir, merasakan dan bertindak menghadapi berbagai situasi dan lingkungan yang ada ( Zamroni, 2011: 297 ).

Budaya sekolah yang positif akan mendorong semua warga sekolah untuk bekerjasama yang didasarkan saling percaya, mengundang partisipasi seluruh warga, mendorong munculnya gagasan-gagasan baru, dan memberikan kesempatan untuk terlaksananya pembaharuan di sekolah yang semuanya ini bermuara pada pencapaian hasil terbaik. Budaya sekolah yang baik dapat menumbuhkan iklim yang mendorong semua warga sekolah untuk belajar, yaitu belajar bagaimana belajar dan belajar bersama. Akan tumbuh suatu iklim bahwa belajar adalah menyenangkan dan merupakan kebutuhan, bukan lagi keterpaksaan. Belajar yang muncul dari dorongn diri sendiri, intrinsic motivation, bukan karena tekanan dari luar dalam segala bentuknya. Akan tumbuh suatu semangat di kalangan warga sekoalah untuk senantiasa belajar tentang sesuatu yang memiliki nilai-nilai kebaikan.

Budaya sekolah yang baik dapat memperbaiki kinerja sekolah, baik kepala sekolah, guru, siswa, karyawan maupun pengguna sekolah lainnya. Situasi tersebut akan terwujud manakala kualifikasi budaya tersebut bersifat sehat, solid, kuat, positif, dan professional. Dengan demikian suasana kekeluargaan, kolaborasi, ketahanan belajar, semangat terus maju, dorongan untuk bekerja keras dan belajar mengajar dapat diciptakan.

Budaya sekolah yang baik akan secara efektif menghasilkan kinerja yang terbaik pada setiap individu, kelompok kerja/ unit dan sekolah sebagai satu institusi, dan hubungan sinergis antara tiga tingkatan tersebut. Budaya sekolah diharapkan memperbaiki mutu sekolah, kinerja di sekolah dan mutu kehidupan yang diharapkan memiliki ciri sehat, dinamis atau aktif, positif dan profesional.

Budaya sekolah sehat memberikan peluang sekolah dan warga sekolah berfungsi secara optimal, bekerja secara efisien, energik, penuh vitalitas, memiliki semangat tinggi, dan akan mampu terus berkembang. Oleh karena itu, budaya sekolah ini perlu dikembangkan.

Menurut Zamroni budaya sekolah ( kultur sekolah ) sangat mempengaruhi prestasi dan perilaku peserta didik dari sekolah tersebut. Budaya sekolah merupakan jiwa dan kekuatan sekolah yang memungkinkan sekolah dapat tumbuh berkembang dan melakukan adaptasi dengan berbagai lingkungan yang ada.

Selanjutnya, dalam analisis tentang budaya sekolah dikemukakan bahwa untuk mewujudkan budaya sekolah yang akrab-dinamis, dan positif-aktif perlu ada rekayasa social. Dalam mengembangkan budaya baru sekolah perlu diperhatikan dua level kehidupan sekolah: yaitu level individu dan level organisasi atau level sekolah. Level individu, merupakan perilaku siswa selaku individu yang tidak lepas dari budaya sekolah yang ada. Perubahan budaya sekolah memerlukan perubahan perilaku individu. Perilaku individu siswa sangat terkait dengan prilaku pemimpin sekolah. Dalam hal ini bisa perilaku kepala sekolah dan terutama guru, bagaimana mereka memperlakukan para siswa. Mencakup antara lain :

a)      Bagaimana guru memberikan perhatian dan menangani masalah yang dihadapi siswa,

b)       Bagaimana guru menanggapi masalah penting yang terjadi di sekolah, terutama yang menyangkut kepentingan siswa,

c)      Bagaimana guru mengalokasikan sumber yang ada, terutama dalam member kesempatan untuk berkomunikasi secara mudah,

d)     Bagaimana para guru memberikan contoh atau tauladan terhadap para siswanya, karena umumnya siswa lebih banyak memperhatikan apa yang dilakukan para guru dari pada mendengarkan apa yang dikatakan guru, dan

e)      Bagaimana guru member rewards dan punishment atas prestasi dan perilaku siswanya

Sedangkan pada level institusi atau sekolah, mencakup antara lain

a)      Bagaimana design dan pergedungan sekolah, sebab ini juga merupakan bagian dari kultur sekolah,

b)      System, mekanismedan prosedur sekolah, seperti tata tertib sekolah dll.

c)      Bagaimana ritual, tata cara, dan kebiasaan yang ada di sekoalah, seperti upacara sekolah, seragam sekolah dsb.

d)     Apakah sekolah memiliki semboyan atau jargon yang menjadi kebanggaan seluruh warga sekolah?

e)      Bagaimana filosifi, visi, dan misi sekolah serta bagaimana proses sosialisasinya.

 

  1. D.    PENDIDIKAN KARAKTER DAN BUDAYA SEKOLAH

Sebelumnya telah disebutkan bahwa pendidikan tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan dari kebudayaan. Proses pendidikan adalah proses pembudayaan, dan proses pembudayaan adalah proses pendidikan. Demikian pula dalam proses membangun karakter anak, salah satu strateginya dapat dilakukan melalui proses pembudayaan di lingkungan sekolah atau melalui budaya sekolah.

Sesuai dengan Desain Induk Pendidikan karakter yang dirancang Kemendiknas (2010) strategi pengembangan pendidikan karakter dapat dilakukan melalui transformasi budaya sekolah ( school culture ) dan habituasi melalui kegiatan pengembangan diri ( ekstrakurikuler ). Hal ini sejalan dengan pemikiran Berkowitz, yang dikutip oleh Elkind dan Sweet ( 2004 ) serta Samani ( 2011 ) yang menyatakan bahwa: implementasi pendidikan karakter melalui transformasi budaya dan perikehidupan sekolah, dirasakan lebih efektif daripada mengubah kurikulum dengan menambahkan materi pendidikan karakter dalam muatan kurikulum.

Dalam kaitan pengembangan budaya sekolah yang dilaksanakan dalam kaitan pengembangan diri, Kemendiknas menyarankan melalui empat hal, yang meliputi : 1. Melalui kegiatan rutin, 2. Kegiatan spontan, 3. Keteladanan, dan 4. Melalui pengondisian.

Secara substantive karakter terdiri dari 3 ( tiga ) nilai operatif, nilai-nilai dalam tindakan, atau unjuk perilaku yang satu sama lain saling berkaitan. Ketiga nilai tersebut adalah : pengetahuan tentang moral ( moral knowing, aspek kognitif ); perasaan berdasarkan moral ( moral feeling, aspek afektif ); dan perilaku berlandaskan moral ( moral action, aspek psikomotor ). Hubungan tersebut dapat digambarkan dalam gambar di bawah ini :

 

Gambar 1 ; Nilai-nilai karakter siswa.

 

Karakter yang baik terdiri atas proses-proses yang meliputi, tahu mana yang baik, keinginan melakukan yang baik dan melakukan yang baik. Selain itu, karakter yang baik juga harus ditunjang oleh kebiasaan pikir, kebiasaan hati, dan kebiasaan tindakan. Dalam konteks realitas psikologis dan sosio-kultural dikategorikan menjadi : olah pikir, olah hati, olah raga dan kinestetik serta olah rasa dan karsa. Hubungan tersebut dapat digambarkan dalam gambar di bawah ini :

 

 

Karakter berkaitan dengan nilai-nilai, penalaran dan perilaku dari seseorang. Dengan demikian, pendidikan karakter tidak bisa hanya diceramahkan, atau dipaksakan lewat proses indoktrinasi terselubung pendidik. Pendidikan karakter perlu didasarkan pada strategi yang tepat. Kevin Ryan dalam Zamroni mengembangkan strategi pendidikan karakter yang disebut dengan nama enam E, yaitu; Example, Explanation, Exhortation, Ethical Environmental, Experience, dan Expectation of excellency. Menurut strategi tersebut pendidikan karakter memerlukan contoh atau teladan sebagai model yang pantas untuk ditiru. Sesuatu yang akan ditiru oleh siswa, disertai dengan pengetahuan mengapa seseorang perlu melakukan apa yang ditiru tersebut. Untuk itu perlu ada penjelasan mengapa sesuatu harus dilakukan, sehingga tidak meniru membabi buta. Melakukan sesuatu itu harus secara sungguh-sungguh, sebagai bentuk kerja keras. Dalam melaksanakan sesuatu harus mempertimbangkan lingkungan, baik social maupun fisik. Artinya, seseorang harus sensitive atas kondisi dan situasi yang ada di sekitarnya. Sikap dan perilaku yang dilaksanakan harus dinikmati, dikerjakan dengan penuh makna, sehingga memberikan pengalaman bagi diri pribadi. Pengalaman inilah yang bisa memberikan makna atau spiritual atas apa yang dilakukan. Dengan demikian perilaku tersebut terinternalisasi pada diri yang akan menjadi kebiasaan. Akhirnya semua itu dilakukan dengan harapan yang tinggi, bahwa perilaku tersebut mewujudkan hasil terbaik.( Zamroni, 2011: 283 )

Karena cakupan karakter sangat luas dan dalam, maka UNESCO telah melakukan kajian dan menyimpulkan ada enam karakter yang bersifat universal yang dapat diterima semua agama dan bangsa manapun, yaitu :

No.

Nilai Karakter

Identitas karakter

1

Trustworthiness Orang yang amanah : jujur, andal, berani

2

Respect Orang yang menghargai : beradab, sopan

3

Responsibility Orang yang bertanggungjawab

4

Fairness Orang yang fair/ terbuka

5

Caring Orang yang peduli

6

Citizenship Warga Negara yang baik

 

Sementara, dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa Kemendiknas telah merumuskan materi pendidikan karakter yang mencakup :

No.

Karakter

No.

Karakter

1

Religius

10

Semangat kebangsaan

2

Jujur

11

Cinta Tanah Air

3

Toleransi

12

Menghargai prestasi

4

Disiplin

13

Bersahabat/Komunikatif

5

Kerja Keras

14

Cinta Damai

6

Kreatif

15

Gemar membaca

7

Mandiri

16

Peduli Lingkungan

8

Demokratis

17

Peduli sosial

9

Rasa ingin tahu

18

Tanggung jawab

 

 

 

Pengembangan nilai/karakter dapat dilihat pada dua latar/domain, yaitu pada latar makro dan latar mikro. Latar makro bersifat nasional yang mencakup keseluruhan konteks perencanaan dan ilmpementasi pengembangan nilai/karakter yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan pendidikan nasional. Pada latar makro program pengembangan nilai/karakter dapat digambarkan sebagai berikut.

 

Gambar 3.. Konteks Makro Pengembangan Karakter

 

Penjelasan Gambar:

  1. Secara makro pengembangan karakter dapat dibagi dalam tiga tahap, yakni perencanaan,  pelaksanaan, dan evaluasi hasil.
  2. Pada tahap perencanaan dikembangkan perangkat karakter yang digali, dikristalisasikan, dan dirumuskan dengan menggunakan berbagai sumber, antara lain pertimbangan: (1) filosofis – Agama, Pancasila, UUD 1945, dan UU N0.20 Tahuin 2003 beserta ketentuan perundang-undangan turunannya;(2) pertimbangan teoritis- teori tentang otak, psikologis, nilai dan moral, pendidikan (pedagogi dan andragogi) dan sosial-kultural;  dan (3) pertimbangan empiris berupa pengalaman dan praktek terbaik (best practices) dari antara lain tokoh-tokoh, sekolah unggulan, pesanren, kelompok kultural dll.
  3. Pada tahap implementasi dikembangakan pengalaman belajar (learning experiences) dan proses pembelajaran yang bermuara pada pembentukan karakter dalam diri individu peserta didik. Proses ini dilaksanakan melalui proses pembudayaan dan pemberdayaan sebagaimana digariskan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional. Proses ini berlangsung dalam tiga pilar pendidikan yakni dalam sekolah, keluarga, dan masyarakat. Dalam masing-masing pilar pendidikan akan ada dua jenis pengalaman belajar (learning experiences) yang dibangun melalui dua pendekatan yakni intervensi dan habituasi. Dalam intervensi dikembangkan suasana interaksi belajar dan pembelajaran yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan pembentulkan karakter dengan menerapkan kegiatan yang terstruktur (structured learning experiences). Sementara itu dalam habituasi diciptakan situasi dan kondisi (persistence life situation) yang memungkinkan peserta didik di sekolahnya, di rumahnya, di lingkungan masyarakatnya  membiasakan diri berprilaku sesuai nilai dan menjadi karakter yang telah diinternalisasi dan dipersonalisai dari dan melalui proses intervensi. Kedua proses tersebut- intervensi dan habituasi harus dikembangkan secara sistemik dan holistik.
  4. Pada tahap evaluasi hasil, dilakukan asesmen untuk perbaikan berkelanjutan yang sengaja dirancang dan dilaksanakan untuk mendikteksi aktualisasi karakter dalam diri peserta didik sebagai indikator bahwa proses pembudayaan dan pemberdayaan karakter itu berhasil dengan baik.

Pada konteks mikro pengembangan karakter berlangsung dalam konteks suatu satuan pendidikan atau sekolah secara holistik (the whole school reform). Sekolah sebagai leading sector, berupaya memanfaatkan dan memberdayakan semua lingkungan belajar yang ada untuk menginisiasi, memperbaiki, menguatkan, dan menyempurnakan secara terus menerus proses pendidikan karakter di sekolah. Program pengembangan karakter pada latar mikro dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 4. Konteks Mikro Pengembangan Nilai/Karakter

Penjelasan Gambar.

  1. Secara mikro pengembangan nilai/karakter dapat dibagi dalam empat pilar, yakni kegiatan belajar-mengajar di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk budaya sekolah (school culture); kegiatan ko-kurikuler  dan/atau ekstra kurikuler, serta kegiatan keseharian di rumah, dan dalam masyarakat.
  2. Dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas pengembangan nilai/karakter dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan terintegrasi dalam semua mata pelajaran (embeded approach). Khususu, untuk mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan,  karena memang misinya adalah mengembangkan nilai dan sikap maka pengembangan nilai/karakter harus menjadi fokus utama yang dapat menggunakan berbagai strategi/metode pendidikan nilai (value/character education). Untuk kedua mata pelajaran tersebut nilai/karakter dikembangkan sebagai dampak pembelajaran (instructional effects) dan juga dampak pengiring (nurturant effects). Sementara itu untuk mata pelajaran lainnya, yang secara formal memiliki misi utama selain pengembangan nilai/karakter, wajib dikembangkan kegiatan yang memiliki dampak pengiring (nurturant effects) berkembangnya nilai/karakter dalam diri peserta didik.
  3. Dalam lingkungan sekolah dikondisikan agar lingkungan fisik dan sosial-kultural sekolah memungkinkan para peserta didik bersama dengan warga sekolah lainnya terbiasa membangun kegiatan keseharian di sekolah yang mencerminkan perwujudan nilai/karakter.
  4. Dalam kegiatan ko-kurikuler, yakni kegiatan belajar di luar kelas yang terkait langsung pada suatu materi dari suatu mata pelajaran, atau kegiatan ekstra kurikuler, yakni kegiatan sekolah yang bersifat umum dan tidak terkait langsung pada suatu mata pelajaran, seperti kegiatan Palang Merah Remaja, Pecinta Alam dll,  perlu dikembangkan proses pembiasaan dan penguatan (reinforcement) dalam rangka pengembangan nilai/karakter.

Di lingkungan keluarga dan masyarakat diupayakan agar terjadi proses penguatan dari orang tua/wali serta tokoh-tokoh masyarakat terhadap prilaku berkarakter mulia yang dikembangkan di sekolah menjadi kegiatan keseharian di rumah dan di lingkungan masyarakat masing-masing.

 

  1. E.     KESIMPULAN

Dari paparan tentang relasi antara pendidikan karakter dan budaya sekolah tersebut, selanjutnya dapat disimpulkan sebagai berikut :

  1. Proses pendidikan dan pembudayaan merupakan satu rangkaian proses humanisasi, sehingga keduanya tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan. Proses pendidikan adalah proses pembudayaan, dan proses pembudayaan adalah proses pendidikan. Alienasi proses pendidikan dari kebudayaan berarti menjauhkan pendidikan dari perwujudan nilai-nilai moral di dalam kehidupan manusia.
  2. Proses pendidikan bukan semata penguasaan pengetahuan, keterampilan teknikal saja, karena ini sekedar alat, atau perkakas. Tetapi proses pendidikan harus bertumpu pada anak itu sendiri, untuk dapat berkembang mencapai sempurnanya hidup. Karena buahnya pendidikan adalah matangnya jiwa anak, yang akan dapat mewujudkan hidup dan penghidupan yang sempurna dan memberikan manfaat bagi orang lain dan lingkungannya.
  3. Dalam perjalanannya, proses pendidikan harus berhadapan dengan arus globalisasi yang membawa dampak positif maupun negative. Ekses globalisasi ini mempengaruhi gaya hidup suatu bangsa, yang pada gilirannya dapat mereduksi,bahkan merusak harkat, martabat dan jati diri bangsa.
  4. Sebagai upaya mempertahankan dan membangun harkat, martabat dan jati diri bangsa, perlu digalakkan pendidikan karakter yang salah satunya dapat ditempuh melalui pengembangan budaya sekolah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Gede Raka (dkk). 2011, Pendidikan Karakter di Sekolah :Dari Gagasan ke Tindakan,Jakarta : PT Gramedia

Kementerian Pendidikan Nasional, Badan penelitian dan pengembangan, Pusat kurikulum. 2011, Pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa pedoman sekolah. Jakarta: Pusat Kurikulum

Kennedy,M. 1991, Some Surprising Finding on How Teachers Learn to Teach,Educational Leadership.

Kuntoro, Sodiq A. 2011, Pendidikan dalam Kehidupan dan Untuk Perbaikan Kehidupan, Yogyakarta : Makalah Sambutan pada Seminar Nasional Ilmu Pendidikan.

Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977, Karya Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama : Pendidikan, Yogyakarta

Parkay, Forrest W. dan Stanford,Beverly H. 2011, Menjadi Seorang Guru, Jakarta : PT Indeks.

Samani,Muchlas dan Hariyanto. 2011, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, Bandung : PT Remaja Rosda Karya.

Tilaar, HAR. 2002,Pendidikan Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Bandung : PT Remaja Rosda Karya.

Zamroni. 2011, Dinamika Peningkatan Mutu, Yogyakarta: Gavin Kalam Utama.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

MANUSIA ADALAH MAKHLUK PEMBELAJAR

Oleh : Drs. A Hidayatullah Al Arifin, MPd.

Ada satu kata atau istilah, yaitu “belajar” yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Karena aktivitas belajar itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lain seperti binatang misalnya. Karena aktivitas belajar pula yang mengantarkan seorang manusia menjadi berilmu, yang selanjutnya memosisikan manusia menjadi makhluk yang paling mulia diantara makhluk yang ada di muka bumi ini. Karena belajarlah, manusia bisa bertahan hidup dan bisa memenuhi apa yang menjadi kebutuhan hidupnya. Karena belajarlah, manusia bisa memecahkan masalah kehidupan yang dihadapi. Karena belajarlah, manusia bisa mengembangkan budayanya, dan karena belajar pula, manusia bisa menguasai alam dan bisa mengubah wajah dunia ini.

Coba kita perhatikan bagaimana kehidupan binatang, apapun jenisnya. Binatang hanya mengandalkan instink untuk dapat memenuhi hidupnya dan mempertahankan kehidupannya, sehingga kehidupan binatang dari waktu ke waktu hanya begitu-begitu saja. Tidak ada binatang yang mampu mengembangkan kreativitas untuk memperbaiki derajat kehidupannya. Persoalan ada binatang yang dianggap pandai, sehingga dapat mengikuti perintah manusia, itu juga hanya sebatas instinknya saja, bukan hasil belajar.

Dalam kehidupan manusia, belajar adalah kata kunci yang menjadi ciri sekaligus potensi bagi umat manusia. Belajar telah menjadi atribut manusia. Potensi belajar merupakan kodrat sekaligus fitroh bawaan sebagai karunia dari Sang Maha Pencipta, Allah, swt. Belajar adalah kebutuhan hakiki dalam hidup manusia di muka bumi ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa belajar adalah “energi kehidupan” umat manusia yang dapat mengusung harkat kemanusiaannya menjadi sosok beradab dan bermartabat.

Belajar adalah suatu proses dan aktivitas yang selalu dilakukan dan dialami manusia sejak manusia di dalam kandungan, buaian, tumbuh  berkembang dari anak-anak, remaja sehingga menjadi dewasa, sampai ke liang lahat, sesuai dengan prinsip pembelajaran sepanjang hayat. Sebagaimana telah dituntunkan dalam Islam, belajar seharusnya sejak dalam buaian sampai ke liang lahat, minal mahdi ilal lahdi, from cradle to the grave.

Teori sains terakhir bahkan mengungkapkan bahwa calon manusia telah mulai belajar saat juataan sperma berjuang mencapai ovum dalam uterus. Jutaan sperma itu seolah saling berjuang, berebut dan berlomba mencapai ovum, banyak di antaranya yang gugur di tengah jalan. Uniknya, satu atau dua sperma ( pada kasus kembar tidak identik ) mencapai ovum dan terjadi konsepsi, sisa ribuan sperma yang lain mati dan menjadi nutrisi bagi ovum yang telah di buahi. Ternyata …yang bermula dari satu atau dua sperma itu adalah kita, dan kitalah yang menjadi pemenangnya sebagai buah dari proses belajar, setelah melalui perjuangan panjang dan melelahkan. Demikianlah, calon manusia ini telah belajar berjuang, beradaptasi, bersaing, tetapi juga bekerja sama dan berkurban untuk kepentingan sesama.

Secara teoritik, belajar dapat dimaknai sebagai suatu proses untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan, memperbaiki perilaku, sikap, dan mengokohkan kepribadian. Dengan demikian buah dari proses belajar tersebut dapat berupa bertambahnya pengetahuan, adanya peningkatan keterampilan, semakin sempurnanya perilaku dan sikap serta semakin matang kepribadian. Dalam konteks proses  memperoleh pengetahuan, kontak manusia dengan alam diistilahkan dengan pengalaman ( experience ). Pengalaman yang terjadi berulang kali melahirkan pengetahuan ( knowledge ). Dalam perspektif sains, ada anggapan bahwa pengetahuan sudah terserak dan tersebar di alam semesta ini, tinggal bagaimana manusia bereksplorasi, menggali dan menemukan kemudian memungutnya, untuk memperoleh pengetahuan. Begitu pentingnya makna pengalaman yang berujung pada terjadinya pengendapan akan pengetahuan, sehingga muncul pepatah : pengalaman adalah guru yang paling baik,  experience is the best teacher, dalam pepatah Minangkabau dinyatakan dengan sebutan ; alam takambang menjadi guru atau alam berkembang menjadi guru.

Pada dasarnya semua manusia pernah mengalami atau memiliki pengalaman belajar yang sangat menakjubkan. Ketika bayi, kita mulai belajar menggerak-gerakkan organ tubuh, belajar mengidentifikasi, belajar berbicara, belajar berjalan dan sebagainya, nyatanya kita bisa bergerak, bisa mengenal lingkungan, bisa berbicara, dan bisa berjalan dengan sempurna. Artinya kita telah mampu berjuang menghadapi berbagai tantangan dalam belajar, seperti berkali-kali jatuh ketika belajar berjalan namun akhirnya berhasil dan sukses. Demikian pula ketika belajar naik sepeda, berapa kali kita jatuh dan terluka, namun kita tetap belajar terus tanpa menyerah dan akhirnya kita bisa naik sepeda bahkan berbagai kendaraan lainnya. Itu semua adalah pengalaman sukses belajar. Dalam berbagai sisi kehidupan lainnya masih banyak lagi pengalaman sukses belajar yang telah dan terus akan kita alami dari hari ke hari.

Akan tetapi dalam perkembangannya, manusia termasuk kita semua sering melupakan pengalaman sukses tersebut, atau barangkali justru tidak menyadari bahwa apa yang kita alami itu sebagai buah dari sukses belajar, sehingga tidak tumbuh keinginan untuk mengulangi dan menghadirkan sukses-sukses berikutnya dalam kehidupan yang lebih luas. Dari uraian di atas, dapat kita tarik bahwa sebenarnya aktivitas belajar merupakan suatu kebutuhan, bukan beban, bahkan setiap diri manusia telah dibekali potensi untuk mampu belajar ( dalam arti luas ).

Jikalau roh belajar tersebut sudah terpatri dalam setiap individu dan menjadikan belajar sebagai kebutuhan ( need ), niscaya budaya belajar ( learning culture ) dapat terbangun dan terwujud.

Jika budaya belajar sudah mengkondisi dalam suatu masyarakat sekolah ( school community ) niscaya prosesi ujian nasional, ulangan akhir semester atau eveluasi apapun tidak akan memicu kegalauan bagi para siswa, orang tua, maupun sekolah itu sendiri. Untuk itu upaya membangkitkan semangat belajar ini senantiasa menjadi tema yang menarik untuk didiskusikan.

Salah satu resep yang paling mujarab dalam membangun spirit belajar ini adalah dengan menumbuhkan dan membangun kesadaran dari dalam diri masing-masing, karena motivasi dari dalam lebih memiliki makna yang kuat dibanding dengan dorongan apalagi paksaan dari luar. Ingat falsafah telur ? sebuah telur yang pecahnya dari dalam ( karena dierami induknya ) niscaya akan membuahkan seekor makhluk baru, artinya ada buah yang berupa “kehidupan”, dan setiap kehidupan mesti akan memberi harapan. Lain halnya jika telur tersebut pecahnya dari luar, maka yang terjadi adalah kehancuran. Demikian pula dalam hal belajar, jika dorongan belajar berasal dari dalam diri setiap individu, tentu akan timbul pencerahan dan harapan. Akan tetapi kalau belajar harus dipaksa dari luar, yang terjadi adalah keterpaksaan yang pada gilirannya akan memicu kehancuran.

Untuk itu tulisan ini sengaja diangkat teriring harapan, semoga dapat menjadi referensi dalam menumbuhkan spirit belajar dari dalam diri bagi siapapun, baik siswa, guru, orang tua atau pembaca lainnya. Begitu indahnya makna belajar dalam kehidupan manusia dan begitu pentingnya mendorong spirit belajar sebagai identitas kemanusiaan, kiranya kita perlu merenungi pepatah China berikut :

Jika anda mempunyai rencana kehidupan satu tahun, tanamlah padi;

 jika anda mempunyai rencana kehidupan sepuluh  tahun, tanamlah pohon;

dan jika anda mempunyai rencana kehidupan sepanjang hayat, maka belajar, belajar , dan belajarlah.

Wallohu ä’lam, Semoga bermanfaat