Category Archives: PENDIDIKAN

MEMBANGUN GENERASI KUAT YANG SIAP MENGHADAPI ZAMANNYA

Oleh : Drs. A Hidayatullah Al Arifin, MPd.
Dalam perspektif pendidikan, Allah SWT. telah memberikan bimbingan dan petunjuk untuk dijadikan acuan teori maupun konsep dalam menyiapkan generasi penerus untuk mengemban tugas kekhalifahan di muka bumi ini sebagai tersirat dalam Al Quran surat An Nisa’ ayat 9 yang artinya sebagai berikut :
“ Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
Sementara Rasulullah SAW juga telah mengintrodusir beberapa konsep dasar pendidikan seperti disebutkan dalam dua buah hadits berikut yang artinya :
1. “ Didiklah anak-anakmu, sebab mereka dilahirkan untuk hidup dalam suatu zaman yang berbeda dengan zamanmu”.
2. “ Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah SWT dari pada orang mukmin yang lemah “.
Dalam perspektif hakekat penciptaan manusia, Allah SWT. telah menciptakan manusia sebagai puncak ciptaan dan makhluk Allah yang memiliki kedudukan tertinggi dengan sebaik-baik bentuk ( QS. 95:4 ). Sejalan dengan keistimewaan dan kelebihan yang dimilikinya itu maka AllahSWT juga menegaskan dalam Al-Quran bahwa tujuan pokok penciptaan manusia di alam ini adalah untuk mengenal Allah sebagai Tuhannya serta berbakti kepadaNya. Tujuan ini ditempatkan sebagai hal yang penting dalam hubungan dengan penciptaan manusia sebagai makhluk ( yang diciptakan ). Dengan demikian alur kehidupan manusia yang serasi sebagai makhluk, adalah apabila ia dapat mengemban tugas dan tanggung jawabnya dengan tujuan untuk mengabdi kepada Sang Pencipta semata. Bukan untuk kepentingan di luar itu.
Berpijak dari paradigma tersebut, maka pendidikan Islam menjadi suatu keniscayaan. Karena hanya melalui mekanisme seperti itulah ajaran Islam, nilai-nilai serta budaya keislaman ( Islamic culture ) dapat mengalir dan merasuk dalam jiwa anak untuk dijadikan sebagai penuntun dan petunjuk yang dapat menyelamatkan kehidupan mereka baik di dunia maupun di akherat kelak. Pendidikan Islam dikenal melalui tiga jalur, yaitu : tarbiyah, ta’dib, dan ta’lim yang ketiganya saling bersinergi dan komplementer.
Pertama kali anak memperoleh pendidikan tentu berasal dari lingkungan terdekatnya, yaitu ; kedua orang tua dan lingkungan keluarganya. Oleh karena itu, kedudukan orang tua dalam pendidikan Islam menempati posisi sebagai pendidik kodrati, yaitu sebagai peletak dasar-dasar ketauhidan pada diri putra-putrinya. Hal ini ditegaskan Rasulullah SAW bahwa : “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orangtuanyalah yang bertanggung jawab apakah anak-anak akan menjadi seorang Nasrani, Yahudi, atau Majusi.”Rasulullah SAW juga meletakkan empat kewajiban orang tua terhadap anak, yaitu mengazankan, memberi nama yang baik, mengajarkan Al-Qur’an, dan menikahkan mereka setelah cukup usia untuk menikah.
Selanjutnya format pendidikan dan pembinaan nilai-nilai tauhid anak terekam dalam nasehat Luqman al Hakim kepada anaknya sebagaimana dinyatakan dalam Al Quran sebagai berikut :

Nasehat pertama ; jangan mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kezaliman yang besar ( QS.31 : 13 ).Nasehat kedua ; berbuat baiklah kepada kedua orang tuanya. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada kedua orang tua ( QS. 31 : 14 ).
Nasehat ketiga ; jika keduanya ( orang tua ) memaksamu untuk mempersekutukan Allah, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada Ku ( QS. 31 : 15 ). Nasehat keempat ; sesungguhnya jika ada suatu perbuatan seberat biji sawi; dan berada dalam batu atau di langit, atau di dalam bumi, niscaya Allah akan membalasnya, sesungguhnya Allah Maha halus lagi Maha mengetahui ( QS. 31 : 16 )
Nasehat kelima ; dirikanlah solat, beramar makruf dan nahi munkar serta bersabarlah terhadap apa yang menimpamu ( QS. 31 : 17 ). Nasehat keenam ; janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia ( menyombongkan diri ) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh ( QS. 31 : 18 ). Nasehat ketujuh ; sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai ( QS. 31 : 19 )
Merujuk kepada tuntunan ini, maka pendidikan dalam perspektif tarbiyah lebih menitikberatkan pada nilai-nilai Ilahiyah yang melambangkan bahwa Allah sebagai Rabb al ‘Alamin. Tuhan sebagai Pemelihara, Pelindung, Pemberi rezeki, Pengatur, maupun Penguasa kehidupan alam ciptaanNya. Dengan demikian, tarbiyah lebih diarahkan pada penerapan bimbingan, perlindungan, pemeliharaan, pengarahan dan curahan kasih sayang kepada peserta didik selaku makhluk Tuhan.
Sementara, pendidikan dalam perspektif ta’dib mengacu pada pembentukan sikap disiplin. Pendidikan pada dasarnya merupakan proses pembiasaan, dan pembentukan disiplin yang paling efektif adalah melalui sholat. Pembentukan sikap disiplin pada konsep ta’dib tersebut memiliki sasaran ganda, yaitu disiplin terhadap hubungan sesama manusia, misalnya disiplin kerja, menghargai waktu, sadar hukum maupun tata tertib hubungan antar manusia . Sedangkan sasaran kedua adalah disiplin dalam hubungannya dengan Allah, yaitu terkait dengan nilai-nilai ibadah serta ketaatan dalam pengabdian diri kepada-Nya.
Sedangkan pendidikan dalam perspektif ta’lim memiliki konotasi pembelajaran, yaitu proses transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pengembangan potensi fitrah manusia selaku makhluk ciptaan Allah. Ta’lim sering dipahami sebagai proses bimbingan yang dititikberatkan pada aspek peningkatan potensi akal (intelektualitas), sikap (emosional) dan akhlak ( spiritual ). Islam menempatkan aktivitas menuntut ilmu sebagai bagian dari kewajiban agama. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam harus mampu memberi motivasi kepada anak ( peserta didik ) untuk bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu agar mencintai ilmu, menguasai ketrampilan professional, dan dapat memanfaatkan ilmunya sebagai bekal pengabdian kepada Allah.
Oleh karena itu melalui mekanisme tarbiyah, ta’dib, dan ta’lim tersebut insya-Allah dapat terwujud manusia unggul yang kompetitif dan komparatif yang mampu memberi manfaat bagi kehidupan orang banyak. Khair al-Nas anfa’uhum li al-Nas. Itulah sosok insan kamil ; Waladun sholihun yad’ullah, yang sama-sama kita dambakan. Amin

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM PRAKSIS PENDIDIKAN DI INDONESIA

Oleh : Akhmad Hidayatullah Al Arifin/ 11703261016

 

Abstrak

Sebagai negara dengan latar belakang budaya, suku, bahasa, dan agama yang sangat majemuk, Indonesia memerlukan pendekatan dan instrumen strategik yang dapat dijadikan sebagai sebuah gerakan nasional untuk mewujudkan persatuan, kesatuan, dan keutuhan bangsa agar menjadi bangsa yang berdaulat dan bermartabat. Salah satu instrumen pendekatannya adalah melalui pendidikan multikultural.

Pendidikan multikultural merupakan suatu pendekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara holistik memberikan kritik dan menunjukkan kelemahan-kelemahan, kegagalan-kegagalan dan diskrimainasi di dunia pendidikan. Pendidikan multikultural sebagai instrumen rekayasa sosial mendorong sekolah supaya dapat berperan dalam menanamkan kesadaran dalam masyarakat multikultur dan mengembangkan sikap tenggang rasa dan toleran utuk mewujudkan kebutuhan serta kemampuan bekerjasama dengan segala perbedaan yang ada.

Praktek pendidikan multikultural di Indonesia dapat dilaksanakan secara fleksibel, tidak harus dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah atau monolitik. Pelaksanaan pendidikan multikultural didasarkan atas lima dimensi: (1) integrasi konten, (2) proses penyusunan pengetahuan, (3) mengurangi prasangka, (4) pedagogi setara, serta (5) budaya sekolah dan struktur sekolah yang memberdayakan.

  1. A.       LATAR BELAKANG

Pendidikan merupakan bagian dari kegiatan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Oleh sebab itu kegiatan pendidikan merupakan perwujudan dari cita-cita bangsa. Dengan demikian kegiatan pendidikan nasional perlu diorganisasikan dan dikelola sedemikian rupa supaya pendidikan nasional sebagai suatu organisasi dapat menjadi sarana untuk mewujudkan cita-cita nasional.

Secara rinci cita-cita nasional yang terkait dengan kegiatan pendidikan telah dituangkan dalam Undang-Undang Sisdiknas No.20 Tahun 2003, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertkwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokraatis serta bertanggung jawab.

Selanjutnya prinsip penyelenggaraan pendidikan secara jelas juga telah diuraikan dalam Undang-Undang Sisdiknas tersebut, yaitu tercantum pada pasal 4, bahwa : 1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan mejunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai cultural, dan kemajemukan bangsa, 2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan system terbuka dan multimakna, 3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, 4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran, 5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat, 6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

Adapun fungsi pendidikan nasional sebagaimana tercantum pada Bab II pasal 3 disebutkan bahwa fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu, fungsi pendidikan juga dapat dilihat  dalam dua perspektif. Pertama, secara mikro ( sempit ), pendidikan berfungsi untuk membantu secara sadar perkembangan jasmani dan rohani peserta didik. Kedua, secara makro ( luas ), pendidikan berfungsi sebagai pengembangan pribadi, pengembangan warga Negara, pengembangan kebudayaan dan pengembangan bangsa.

Dari paparan tentang tujuan, prinsip penyelenggaraan maupun fungsi pendidikan sebagai mana tertuang dalam Undang-Undang Sisdiknas No.20 Th.2003 sebenarnya sudah memberi gambaran ruang gerak yang representative untuk terselenggaranya pendidikan nasional yang sesuai dengan latar belakang budaya dan kebhinekaan bangsa Indonesia. Akan tetapi keberadaan suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari dependensi bangsa lain. John Naisbit dan Alvin Tofler memberi gambaran bahwa dunia saat ini terasa semakin sempit. Dunia merupakan suatu kampung besar (global village). Di era globalisasi dewasa ini kita tidak dapat melepaskan diri dari kehidupan global. Gelombang demokrasi semakin terbuka yang dampaknya bukan saja membawa nilai-nilai positif dalam pengertian penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia ( HAM ) dan eksistensi kelompok masyarakat, tetapi juga mengandung bahaya perpecahan suatu negara. Samuel P. Huntington dalam the Clash of Civilization meramalkan akan terjadinya benturan antarperadaban. Benturan itu bisa disebabkan oleh faktor : politik, social, budaya, ekonomi, ras, bahkan agama ( Mahfud, 2006 : viii ).

Melihat fenomena tersebut, kegiatan pendidikan di Indonesia dituntut untuk memiliki kepekaan menghadapi arus perputaran globalisasi. Pola doktrinasi monokulturalisme yang dipaksakan selama orde baru perlu dievaluasi, karena telah berimplikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multicultural. Di lain pihak masih sering kita jumpai adanya fenomena perpecahan di tengah masyarakat, baik berupa kerusuhan/ tawuran antar pelajar, antar RT, antar suku sampai keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI sampai saat ini masih sering mewarnai media nasional baik cetak maupun elektronik.

Gelombang demokrasi menuntut pengakuan perbedaan dalam tubuh bangsa Indonesia yang majemuk. Oleh sebab itu untuk membangun rasa persatuan dan kesatuan serta rasa nasionalisme sekaligus menjawab beberapa problematika kemajemukan seperti yang digambarkan di atas dibutuhkan langkah sistematis yang dapat dijadikan sebagai sebuah gerakan nasional. Dalam makalah ini kami menawarkan solusi melalui “Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Praksis Pendidikan di Indonesia”.

Pendidikan multicultural dapat dirumuskan sebagai wujud kesadaran tentang keanekaragaman cultural, hak-hak asasi manusia serta pengurangan atau penghapusan jenis prasangka atau prejudice untuk suatu kehidupan masyarakat yang adil dan maju. Pendidikan multicultural juga dapat dijadikan instrument strategis untuk mengembangkan kesadaran atas kebanggaan seseorang terhadap bangsanya.

Melalui pendidikan multicultural kita dapat memberi seluruh siswa-tanpa memandang status sosioekonomi; gender; orientasi seksual; atau latar belakang etnis, ras atau budaya-kesempatan yang setara untuk belajar di sekolah. Pendidikan multibudaya juga didasarkan pada kenyataan bahwa siswa tidak belajar dalam kekosongan,  budaya mereka memengaruhi mereka untuk belajar dengan cara tertentu ( Parkay dan Stanford, 2011 : 35 ).

  1. B.       PENDIDIKAN MULTI KULTURAL
    1. 1.      Pengertian Pendidikan Multikultural

Pendidikan multikultural adalah merupakan suatu gerakan pembaharuan dan proses untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang setara untuk seluruh siswa. Sebagai sebuah gerakan pembaharuan, istilah   pendidikan multicultural masih dipandang asing bagi masyarakat umum, bahkan penafsiran terhadap definisi maupun pengertian pendidikan multicultural juga masih diperdebatkan di kalangan pakar pendidikan.

Seperti pendapat Andersen dan Cusher ( 1994 ) sebagaimana dikutip Mahfud ( 2008 ), bahwa pendidikan multicultural diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Sedangkan Hernandez ( 1989 ), mengartikan pendidikan multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas sosial, politik, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status social, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan.

Ahli lain, Sleeter dan Grant ( 2007, 2009 ) dan Smith ( 1998 ) sebagaimana  dikutip Zamroni ( 2011 ) mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai suatu pendekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara holistik memberikan kritik dan menunjukkan kelemahan-kelemahan, kegagalan-kegagalan dan diskriminasi yang terjadi di dunia pendidikan ( Zamroni, 2011: 144 )

Sebagai suatu gerakan pembaharuan dan proses untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang setara untuk seluruh siswa, pendidikan multikultural memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut :

Prinsip pertama: pendidikan multikultural adalah gerakan politik yang bertujuan menjamin keadilan sosial bagi seluruh warga masyarakat tanpa memandang latar belakang yang ada.

Prinsip kedua : pendidikan multikultural mengandung dua dimensi: pembelajaran (kelas)  dan kelembagaan (sekolah) dan antara keduaanya tidak bisa dipisahkan, tetapi justru harus ditangani lewat reformasi yang komprehensif

Prinsip ketiga : pendidikan multikultural menekankan reformasi pendidikan yang komprehensif dapat dicapai hanya lewat analisis kritis atas sistem kekuasaan dan privileges untuk dapat dilakukan reformasi komprehensif dalam pendidikan.

Prinsip keempat : berdasarkan analisis kritis ini, maka tujuan pendidikan multikultural adalah menyediakan bagi setiap siswa jaminan memperoleh kesempatan guna mencapai prestasi maksimal sesuai dengan kemampuan yang dimiliki

Prinsip kelima : pendidikan multikultural adalah pendidikan yang baik untuk seluruh siswa, tanpa memandang latar belakangnya.

Konsep multikulturakisme menekankan pentingnya memandang dunia dari bingkai referensi budaya yang berbeda, dan mengenali serta manghargai kekayaan ragam budaya di dalam Negara dan di dalam komunitas global. Multikulturakisme menegaskan perlunya menciptakan sekolah di mana berbagai perbedaan yang berkaitan dengan ras, etnis, gender, orientasi seksual, keterbatasan, dan kelas sosial diakui dan seluruh siswa dipandang sebagai sumber yang berharga untuk memperkaya proses belajar mengajar.

Proses belajar mengajar atau proses pembelajaran merupakan suatu proses yang rumit dan kompleks, karena tidak semua faktor yang terlibat bisa dikendalikan oleh guru. Dalam analisisnya, Maurianne Adams and Barbara J. Love (2006). Menyebutkan bahwa ada empat faktor yang terdapat dalam proses pembelajaran, yaitu : 1). Faktor bawaan siswa, 2) faktor bawaan guru, 3) faktor pedagogy, dan 4) faktor isi kurikulum. Faktor-faktor dalam pembelajaran tersebut dapat digambarkan dapat digambarkan sebagai berikut :

GAMBAR 1 ; FAKTOR-FAKTOR DALAM PEMBELAJARAN

 

 

 

 

 

 

Faktor pertama; guru, ketika guru memasuki suatu kelas, sudah memiliki bawaan sendiri-sendiri, ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat sangat pribadi. Kedua; siswa, demikian pula siswa juga memiliki bawaan sendiri-sendiri, ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat sangat pribadi. Ketiga; kurikulum, bisa dipersepsi dan memiliki dampak berbeda untuk setiap individu siswa. Keempat; pedagogy, di tangan guru berbeda bisa memiliki makna dan dampak yang berbeda pula. Keempat faktor tersebut harus diramu oleh seorang guru dalam suatu proses.

Kegagalan dalam proses meramu guru menyebabkan siswa dengan status sosial ekonomi rendah tidak dapat mengikuti pembelajaran sebagaimana mereka siswa yang datang dari kelompok sosial ekonomi tinggi. Demikian pula halnya bagi siswa yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda akan gagal beradaptasi dalam proses pembelajarannya.

Pendidikan multikultural merupakan suatu proses transformasi yang tentunya membutuhkan waktu panjang untuk mencapai maksud dan tujuannya. Menurut Zamroni ( 2011 ) disebutkan beberapa tujuan yang akan dikembangkan pada diri siswa dalam proses pendidikan multikultural, yaitu :

  1. Siswa memiliki kemampuan berpikir kritis atas apa yang telah dipelajari.
  2. Siswa memiliki kesadaran atas sifat sakwasangka atas fihak lain  yang dimiliki, dan mengkaji mengapa dan dari mana sifat itu muncul, serta terus mengkaji bagaimana cara menghilangkannya
  3. Siswa memahami bahwa setiap ilmu  pengetahuan bagaikan sebuah pisau bermata dua: dapat dipergunakan untuk menindas atau meningkatkan keadilan sosial.
  4. Para siswa memahami bagaimana mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang dimiliki dalam kehidupan.
  5. Siswa  merasa terdorong untuk terus belajar guna mengembangkan ilmu pengetahuan yang dikuasainya.
  6. Siswa memiliki cita-cita posisi apa yang akan dicapai sejalan dengan apa yang dipelajari.
  7. Siswa dapat memahami keterkaitan apa yang dilakukan dengan berbagai permasalahan dalam kehidupan masyarakat-berbangsa.
  1. 2.      Paradigma Pendidikan Multikultural

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk atau pluralis. Kemajemukan sudah menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Kemajemukan ini dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu : perspektif horizontal dan dan vertikal. Dalam perspektif horizontal, kemajemuan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, dan budayanya. Sedangkan  dalam perspektif vertikal, kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, dan tingkat sosial budayanya.

Fenomena kemajemukan ini bagaikan pisau bermata dua, satu sisi memberi dampak positif, yaitu kita memiliki kekayaan khasanah budaya yang beragam, akan tetapi sisi lain juga dapat menimbulkan dampak negatif, karena terkadang justru keragaman ini dapat memicu konflik antar kelompok masyarakat yang pada gilirannya dapat menimbulkan instabilitas baik secara keamanan, sosial, politik maupun ekonomi.

Dalam menghadapi pluralisme budaya tersebut, diperlukan paradigma baru yang lebih toleran dan elegan untuk mencegah dan memecahkan masalah benturan-benturan budaya tersebut, yaitu paradigma pendidikan multikultural. Hal ini penting untuk mengarahkan anak didik dalam mensikapi realitas masyarakat yang beragam, sehingga mereka akan memiliki sikap apresiatif terhadap keragaman perbedaan tersebut. Bukti nyata tentang maraknya kerusuhan dan konflik yang berlatar belakang suku, adat, ras, dan agama menunjukkan bahwa pendidikan kita telah gagal dalam menciptakan kesadaran akan pentingnya multikulturalisme.

Adapun bangunan paradigma pendidikan multikultural yang ditawarkan Zamroni ( 2011 ) adalah sebagai berikut :

  1. Pendidikan multikultural adalah jantung untuk menciptakan kesetaraan pendidikan  bagi seluruh warga masyarakat.
  2. Pendidikan multikultural bukan sekedar perubahan kurikulum atau perubahan metode pembelajaran.
  3. Pendidikan multikultural mentransformasi kesadaran yang memberikan arah kemana transformasi praktik pendidikan harus menuju.
  4. Pengalaman menunjukan bahwa upaya mempersempit kesenjangan pendidikan salah arah yang justru menciptakan ketimpangan semakin membesar.

e. Pendidikan multikultural bertujuan untuk berbuat sesuatu, yaitu membangun jembatan antara kurikulum dan karakter guru, pedagogi, iklim kelas, dan kultur sekolah guna membangun visi sekolah yang menjunjung kesetaraan.

Menurut James A. Banks ( 2002 : 14 ), pendidikan multikultural adalah cara memandang realitas dan cara berpikir, dan bukan hanya konten tentang beragam kelompok etnis, ras, dan budaya. Secara spesifik, Banks menyatakan bahwa pendidikan multikultural dapat dikonsepsikan atas lima dimensi, yaitu :

  1. Integrasi konten ; pemaduan konten menangani sejauh mana guru menggunakan contoh dan  konten dari beragam budaya dan kelompok untuk menggambarkan konsep, prinsip, generalisasi serta teori utama dalam bidang mata pelajaran atau disiplin mereka.
  2. Proses penyusunan pengetahuan; sesuatu yang berhubungan dengan sejauh mana guru membantu siswa paham, menyelidiki, dan untuk menentukan bagaimana asumsi budaya yang tersirat, kerangka acuan, perspektif dan prasangka di dalam disiplin mempengaruhi cara pengetahuan disusun di dalamnya.
  3. Mengurangi prasangka; dimensi ini fokus pada karakteristik dari sikap rasial siswa dan bagaimana sikap tersebut dapat diubah dengan metode dan mater pengajaran.
  4. Pedagogi kesetaraan; pedagogi kesetaraan ada ketika guru mengubah pengajaran mereka ke cara yang akan memfasilitasi prestasi akademis dari siswa dari berbagai kelompok ras, budaya, dan kelas sosial. Termasuk dalam pedagogi ini adalah penggunaan beragam gaya mengajar yang konsisten dengan banyaknya gaya belajar di dalam berbagai kelompok budaya dan ras.
  5. Budaya sekolah dan struktur sekolah  yang memberdayakan ; praktik pengelompokan dan penamaan partisipasi olah raga, prestasi yang tidak proporsional, dan interaksi staf, dan siswa antar etnis dan ras adalah beberapa dari komponen budaya sekolah yang harus diteliti untuk menciptakan budaya sekolah yang memberdayakan siswa dari beragam kelompok, ras, etnis dan budaya.

Untuk itu, para guru yang memberikan pendidikan multibudaya harus memiliki keyakinan bahwa; perbedaan budaya memiliki kekuatan dan nilai, sekolah harus menjadi teladan untuk ekspresi hak-hak manusia dan penghargaan untuk perbedaan budaya dan kelompok, keadilan dan kesetaraan sosial harus menjadi kepentingan utama dalam kurikulum, sekolah dapat menyediakan pengetahuan, keterampilan, dan karakter ( yaitu nilai, sikap, dan komitmen ) untuk membantu siswa dari berbagai latar belakang, sekolah bersama keluarga dan komunitas dapat menciptakan lingkungan yang mendukung multibudaya.

  1. C.      URGENSI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA

Menurut Gibson ( 1997 ), sebagaimana dikutip Djohar ( 2003: 85 ) menyatakan bahwa masa depan bangsa memiliki kriteria khusus yang ditandai oleh hiper kompetisi, suksesi revolusi teknologi serta dislokasi dan konflik sosial, menghasilkan keadaan yang non-linier dan sangat tidak dapat diperkirakan dari keadaan masa lampau dan masa kini. Masa depan hanya dapat dihadapi dengan kreativitas, meskipun posisi keadaan sekarang memiliki peranan penting untuk memicu kreativitas. Lebih lanjut dijelaskan bahwa perubahan keadaan yang non-linier ini tidak akan dapat diantisipasi dengan cara berpikir linier. Pemikiran linier dan rasional yang sekarang kita kembangkan tidak lagi fungsional untuk mengakomodasi perubahan keadaan yang akan terjadi. Keadaan ini mestinya dapat mendorong kita untuk memiliki disain pendidikan masa depan yang memungkinkan peserta didik dan pelaku praksis  pendidikan dapat mengaktualisasikan dirinya.

Sebagai bangsa dengan beragam kultur memiliki resistensi yang tinggi terhadap muncunya konflik sebagai konsekuensi dinamika kohesivitas sosial masyarakat. Akar munculnya konflik dalam masyarakat multikultur disebabkan oleh : (1) adanya perebutan sumber daya, alat-alat produksi, dan kesempatan ekonomi ( acces to economic resources and to means of production ); (2) perluasan batas-batas sosial budaya ( social and cultural borderline expansion ); (3) dan benturan kepentingan politik, idiologi, dan agama ( conflict of political, ideology, and religious interest ).

Dari paparan tersebut mengindikasikan bahwa pendidikan multikultural menjadi sesuatu yang sangat penting dan mendesak untuk di implementasikan dalam praksis pendidikan di Indonesia. Karena pendidikan multikultural dapat berfungsi sebagai sarana alternatif pemecahan konflik. Melalui pembelajaran yang berbasis multikultur, siswa diharapkan tidak tercerabut dari akar budayanya, dan rupanya diakui atau tidak pendidikan multikultural sangat relevan di praktekkan di alam demokrasi seperti saat ini.

Spektrum kultur masyarakat Indonesia yang amat beragam memang merupakan tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan untuk mengolah bagaimana ragam perbedaan tersebut justru dapat dijadikan asset, bukan sumber perpecahan. Di era globalisasi ini  pendidikan multikultural memiliki tugas ganda, yaitu selain menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya tersebut, juga harus menyiapkan bangsa Indonesia untuk siap menghadapi arus budaya luar yang masuk ke negeri ini.

Pendidikan multikultural juga dapat dimanfaatkan untuk membina siswa agar tidak tercerabut dari akar budayanya, sebab pertemuan antar budaya di era globalisasi ini bisa jadi dapat menjadi ancaman serius bagi anak didik kita. Dalam kaitan ini siswa perlu diberi penyadaran akan pengetahuan yang beragam, sehingga mereka memiliki kompetensi yang luas akan pengetahuan global, termasuk aspek kebudayaan.

  1. D.      PRAKTEK PENDIDIKAN MULTICULTURAL DI INDONESIA

Sampai saat ini pendidikan multicultural memang masih sebatas wacana. Praktek pendidikan multikultural di Indonesia nampaknya tidak dapat dilaksanakan seratus persen ideal seperti di Amerika Serikat, walaupun ditinjau dari keragaman budaya memang banyak kemiripan. Hal itu disebabkan oleh perjalanan panjang histori penyelenggaraan pendidikan yang banyak dilatarbelakangi oleh primordialisme. Misalnya pendirian lembaga pendidikan berdasar latar belakang agama, daerah, perorangan maupun kelompok.

Oleh karenanya praktek pendidikan multikultural di Indonesia dapat dilaksanakan secara fleksibel dengan mengutamakan prinsip-prinsip dasar multikultural. Apapun dan bagaimanapun bentuk dan model pendidikan multikultural, mestinya tidak dapat lepas dari tujuan umum pendidikan multikultural, yaitu : (1) Mengembangkan pemahaman yang mendasar tentang proses menciptakan sistem  dan menyediakan pelayan pendidikan yang setara. (2) Menghubungkan kurikulum dengan karakter guru,  pedagogi, iklim kelas, budaya sekolah dan konteks lingkungan sekolah guna membangun suatu visi “lingkungan sekolah yang setara”

Prinsip fleksibilitas pendidikan multikultural juga disarankan oleh Gay ( 2002 )  sebagaimana dikutip Zamroni ( 2011 : 150 ), dikatakan bahwa amat keliru kalau melaksanakan pendidikan multikultural harus dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah atau monolitik. Sebaliknya, dia mengusulkan agar pendidikan multikultural diperlakukan sebagai pendekatan untuk memajukan pendidikan secara utuh dan menyeluruh. Pendidikan multikultural juga dapat diberlakukan sebagai alat bantu untuk menjadikan warga masyarakat lebih memiliki toleran, bersifat inklusif, dan memiliki jiwa kesetaraan dalam hidup bermasyarakat, serta senantiasa berpendirian suatu masyarakat secara keseluruhan akan lebih baik, manakala siapa saja warga masyarakat memberikan kontribusi sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang dimiliki bagi masyarakat sebagai keutuhan.

Bahkan Gay merekomendasikan agar pembelajaran perlu memberi kesempatan bagi siswa untuk mempelajari bagaiman suatu kultur masyarakat bisa berperan dalam upaya peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan bagi warganya.

Dalam pandangan Zamroni ( 2011 ), pendidikan multikultural diusulkan untuk dapat dijadikan instrument rekayasa sosial lewat pendidikan formal, artinya institusi sekolah harus berperan dalam menanamkan kesadaran hidup dalam masyarakat multikultural dan mengembangkan sikap tenggang rasa dan toleransi untuk mewujudkan kebutuhan serta kemampuan bekerjasama dengan segala perbedaan yang ada.

Sekolah harus dipandang sebagai suatu masyarakat, masyarakat kecil; artinya, apa yang ada di masyarakat harus ada pula di sekolah. Perspektif sekolah sebagai suatu masyarakat kecil ini memiliki implikasi bahwa siswa dipandang sebagai suatu individu yang memiliki karakteristik yang terwujud dalam bakat dan minat serta aspirasi yang menjadi hak siswa.

Pada level sekolah, dengan adanya berbagai perbedaan yang dimiliki masing-masing individu, maka sekolah harus memperhatikan : a) setiap siswa memiliki kebutuhan perkembangan yang berbeda-beda, termasuk kebutuhan personal dan sosial, b) kebutuhan vokasi dan karier, c) kebutuhan psikologi dan perkembangan moral spiritual.

Pada level masyarakat, yang perlu dipenuhi kebutuhannya adalah mencakup : a)  kebutuhan  akademik, b) kebutuhan psikologis, c) kebutuhan kebersamaan, dan d) kebutuhan rasa aman. Pendidikan harus dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Sekolah harus dapat dijadikan tempat yang aman, memiliki suasana kekerabatan dan juga terdapat semangat saling dukung mendukung. Berkaitan dengan itu, maka prosses pembelajaran diarahkan pada pengembangan individu secara utuh yang mencakup intelektual, sosial, dan moral spiritual. Tekanan dan dorongan siswa untuk bekerja keras tidak hanya bersifat ekstrinsik, bahkan lebih dari itu harus ditekankan pada penggunaan instrinsik motivation.

Dari perspektif hasil pembelajaran, pendidikan multikultural memiliki tiga sasaran yang dikembangkan pada diri setiap siswa;

Pertama, pengembangan identitas kultural yakni merupakan kompetensi yang dimiliki siswa untuk mengidentifikasi dirinya dengan suatu etnis tertentu. Kompetensi ini mencakup pengetahuan, pemahaman dan kesadaran akan kelompok etnis dan menimbulkan kebanggaan serta percaya diri sebagai warga kelompok etnis tertentu.

Kedua, hubungan interpersonal. Yakni, kompetensi untuk melakukan hubungan dengan kelompok etnis lain, dengan senatiasa mendasarkan pada persamaan dan kesetaraan, serta menjauhi sifat syakwasangka dan stereotip.

Ketiga, memberdayakan diri sendiri. Yakni suatu kemampuan untuk mengembangkan secara terus menerus apa yang dimiliki berkaitan dengan kehidupan multikultural.

Secara detail, kompetensi kultural mencakup berbagai hal sebagi berikut :

  1. Kompetensi invidu untuk menerima, menghormati dan membangun kerjasama dengan siapapun juga yang memiliki perbedaan-perbedaan dari dirinya.
  2. Kompetensi kultural merupakan hasil dari kesadaran atas pengetahuan dan “bias kultural” yang dimilikinya atau sebagai faktor yang mempengaruhi perbedaan kultur
  3. Proses pengembangan komptensi kultural memerlukan pengembangan pengetahuan, ketrampilan, sikap dan perilaku yang memungkinkan  seseorang memahami  dan berinteraksi secara efisien dengan orang yang memiliki perbedaan kultur.

Berkaitan dengan kompetensi kultural dan bagaimana kompetensi tersebut dibentuk, Papadopoulos & Lee ( 2003) mengajukan model pengembangan kompetensi kultural sebagai berikut : Kompetensi kultural dibentuk oleh berbagai faktor: penguasaan pengetahuan, critical thingking, daya kritis, kemampuan mengembangkan sesuatu, dan kemampuan praktis. Keempat faktor tersebut tidak statis melainkan dinamis terus bergerak, membentuk kompetensi kultural.

Pendidikan multikultural juga sangat relevan dengan pendidikan demokrasi di masyarakat plural seperti Indonesia, yang menekankan pada pemahaman akan multi etnis, multi ras, dan multikultur yang memerlukan konstruksi baru atas keadilan, kesetaraan dan masyarakat yang demoktratis.

  1. E.       KESIMPULAN

Dari paparan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa :

  1. Pendidikan multikultural di Indonesia masih menjadi wacana baru yang perlu direspon untuk menjaga keutuhan bangsa yang kaya akan multi kultur.
  2. Pendidikan multikultural merupakan wujud kesadaran tentang keanekaragaman kultural, hak-hak asasi manusia serta pengurangan atau penghapusan jenis prasangka atau prejudice untuk suatu kehidupan masyarakat yang adil dan maju. Pendidikan multikultural juga dapat dijadikan instrumen strategis untuk mengembangkan kesadaran atas kebanggaan seseorang terhadap bangsanya.
  3. Dalam menghadapi pluralisme budaya, diperlukan paradigma baru yang lebih toleran dan elegan untuk mencegah dan memecahkan masalah benturan-benturan budaya tersebut, yaitu perlunya dilaksanakan pendidikan multicultural.
  4. Oleh karenanya praktek pendidikan multikultural di Indonesia dapat dilaksanakan secara fleksibel dengan mengutamakan prinsip-prinsip dasar multikultural.
  5. Pendidikan multikultural juga sangat relevan dengan pendidikan demokrasi di masyarakat plural seperti Indonesia, yang menekankan pada pemahaman akan multi etnis, multi ras, dan multikultur yang memerlukan konstruksi baru atas keadilan, kesetaraan dan masyarakat yang demoktratis.

DAFTAR PUSTAKA

Banks, James A. (ed.). 1989. Multicultural Education: Issues and Perspectives. Boston-London: Allyn and Bacon Press.

Banks, James A. 1993. Teaching strategies for ethnic studies. Boston: Allyn and Bacon Inc.

Banks, James A. 2002. An introduction to Multicultural Education, Boston-London: Allyn and Bacon Press.

Banks, James A. 2007. Educating citizens in multicultural society. Second edition. New York: Teachers College Columbia University.

Djohar. 2003. Pendidikan Strategik, Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta : LESFI

Hernandez, Hilda. 1989. Multicultural Education: A teacher Guide to linking Context, Process, and Content, New Jersy & Ohio : Prentice Hall

Mahfud, Choirul. 2008. Pendidikan Multikultura, Yogyakarta : Pustaka Pelajar

M. Ainul Yaqin. 2005. Pendidikan multikultural: cross-cultural understanding untuk demokrasi dan keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.

Tilaar, H.A.R. 2002. Pendidikan, kebudayaan dan masyarakat madani Indonesia. Jakarta: Remaja Rosdakarya.

Zamroni. (2010a). The implementation of multicultural education. A reader. Yogyakarta:  Graduate Program The State University of Yogyakarta.

Zamroni. (2010b). A conception frame-work of multicultural teachers education. A reader. Yogyakarta:  Graduate Program The State University of Yogyakarta.

Zamroni, 2011. Pendidikan Demokrasi pada Masyarakat Multikultural. Yogyakarta:  Gavin Kalam Utama